Join The Community

Search

Rabu, 04 Agustus 2010

MUI itu Bukan Allah (2)

Lagi-lagi, MUI beraksi. Mengeluarkan beberapa fatwa yang terlalu ekstrim. Sebelumnya Inspirasi Pemuda sudah pernah membahasa tentang fatwa haram merokok dan mengemis. Belum selesai disosialisasikan dengan penuh, MUI sudah membuat fatwa haram lagi yang berkenaan dengan Haram berboncengan dengan lawan jenis yang bukan muhrim, Haram tidak hadir di rapat DPR bagi Anggotanya dan Haram untuk penayangan gosip atau infotainment.


Hmm, susah emang kalo musuh agama, apalagi kalo dipermainkan. Oke, maksudnya begini, fatwa yang diluncurkan MUI itu memang benar. Baik itu secara teori ataupun praktek. Tapi yang jadi masalah, bukan begitu caranya. Dengan meluncurkan fatwa haram, dan dengan jarang sekali MUI jarang menyebutkan uraian alasan secara rinci.

Walaupun, pada dasarnya fatwa itu benar, tapi tidak bisa langsung men-judge itu haram. Misalnya untuk anggota dewan yang tidak hadir dalam rapat paripurna karena sakit atau keperluan lain? Apa dikatakan berdosa? Kalo MUI beranggapan bahwa anggota yang tidak hadir itu karena "malas/bolos" berarti MUI su.udzon donk? yang dosa jadi siapa nih?

Itu hanya salah satu contoh. Yang perlu ditekankan disini adalah jangan sampai membuat masyarakat menjadi tidak ngeh, enggan, benci atau dalam bahasa jawa wegah. Sikap yang terlalu otoriter dan merasa benar sendiri yang membuat masyarakat menjadi enek. Sebenarnya ada cara lain untuk mempertahankan Islam tanpa harus melakukan tindak paksa atau semacamnya.

Kita tengok salah satu contoh, Bpk. Tifatul Sembiring. Beliau adalah mantan pemimpin PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dan sekarang beliau menjadi apa? Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo). Apa hubungannya Komunikasi Informasi dengan partai PKS dan Islam? Jauh kan? Tapi apa yang telah beliau lakukan? Berusaha mem-blok situs porno di Indonesia, mengupayakan KPI (Komisi Penyiaran Indoensia) agar lebih seleksi dalam menayangkan hal-hal yang tidak pantas untuk dilihat, membuat beberapa peraturan yang berkenaan dengan media komunikasi agar jauh dari maksiat dan semakin erat dengan syariat. Untuk siapa? ISLAM.

Itulah cara yang paling benar dalam menanggapi berbagai problema di negeri kita. Indonesia bukan negara Islam, dan bukan pula negara federal. Kita tak bisa memberi kebebasan secara penuh, dan tak bisa memaksa mereka pula untuk senantiasa taat kepada "fatwa" yang notabene tidak selalu 100% benar.

Contoh kedua kita ambil contoh dari Aji Notonegoro. Beliau adalah desainer handal, yang saat ini sedang ada dalam masalah. Tapi kita tak sedang membahas itu, yang kita bahas adalah upaya beliau dalam menjalankan syariat. Salah satu upayanya adalah dengan ingin dan akan mengusulkan kepada pemerintahan untuk masalah seragam sekolah. Beliau memiliki ide agar setiap anak sekolah memakai pakaian panjang dengan atasan batik dan bawah rok panjang atau celana panjang.

Beliau sama sekali tidak menyinggung masalah agama, syariat ataupun semacamnya. Karena memang agar tidak ada tanggapan masyarakat bahwa ini adalah paksaan ajaran agama. Beliau mengungkapkan idenya dengan cara dia, dengan keprofesioanlitasan dia, dan dengan teori-teori fashion yang di kuasai, sehingga masyarakat mudah menerima dan dengan tanpa unsur paksaan sedikitpun.

Kalo sudah begini, siapa yang untung? ISLAM juga. Selain itu beliau juga mendukung program kebudayaan dengan mengajukan batik sebagai atasan seragam sekolah. Yang untung dobel kan.. Jadi, ayolah! Menjalankan syariat itu tidak harus dengan paksaan. Ayo kita cari terobosan-terobosan hebat seperti yang telah dilakukan dua orang hebat ini.

3 komentar:

artikelnya sangat menarik sekali, memang betul apapun permasalahannya mungkin perlu penngkajian lebih dalam dengan mempertimbangkan berbagai aspek, salah satunya adalah bagaimana cara menyampaikannya agar dapat diterima oleh masyarakat banyak. Salam

Keren artikelnya om..
maksih pencerahannyaaa.....

Posting Komentar

Tinggalkan angan anda di sini